Senin, 26 Oktober 2009

Zaman Cenna Telah Berlalu


DULU, ternyata ketika orang-orang tua kita mau bersekolah, ya pake sendal jepit, nggak pake seragam, dan sekolahnya  juga dari bangunan seadanya, dengan dinding anyaman bambu. Ortu saya bilang, belajarnya pake batu tulis, dan itu buku... harganya mahal. Menarik, buku-buku mereka diminta oleh para guru untuk dibungkus dengan kertas minyak. Nah, jadilah ketika itu, karena belum ada lem Agung atau Alteco, mereka memanfaatkan cenna ini sebagai perekat. Mereka ke hutan, memanjat dan memetik buah cenna yang sedang ranum, lalu dipencet-pencet, dan keluarlah getahnya...

Sekarang zaman penggunaan cenna sebagai lem alam, telah berlalu. Kita sekarang kan pake semua barang

sintetik, termasuk semua makanan yang serba instan. Nggak mau cape-cape nyari di alam, padahal tidak satupun materi yang tidak disediakan oleh alam... cuma kita malas doang buat nyarinya dan ogah dibilang kampungan...

Nah, ketika saya ke kebun (di Parepare), saya masih menemukan satu pohon cenna (Payena leeri, Sapotaceae), yang tumbuh rebah di atas kali kecil. Saya berkali-kali bilang terima kasih pada ortu saya, karena beliau tidak pernah mengizinkan orang untuk memotong batang pohon cenna itu... jadi dibiarkan begitu saja. Pasti, saya tidak akan mengenal cenna secepat ini seandainya pohon itu telah ditebang... dan itu berarti saya kehilangan satu informasi penting lagi soal flora di negeri ini.

Ketika saya coba untuk mencicipi, wah rasanya renyah amat, seperti rasanya kalo kita menelan adonan kanji, tapi bening... wah, kalo kita tidak waspada... entar mulut nggak kebuka lagi karena terekat. Saya pikir, ini cocok untuk mendukung program "mogok bicara"... makan saja buah cenna ini, pasti deh mulut jadi rapat-rapat, he, he, he!
Tapi, ya zaman cenna dan getah kayu jawa (Lannea grandis), memang telah berlalu... padahal sekarang dimasuki zaman "mogok-mogokan".

Jadi kalau begitu, sekarang, persoalan kita adalah cenna ini merupakan kekayaan hayati kita, dan kita harus terus melestarikannya sampai kita menemukan potensi yang sebenarnya. Jadi, cenna harus tetap ada di bumi nusantara ini. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes"

Selasa, 13 Oktober 2009

Bote, Bunga Bangkai Versi Bugis

ORANG bisa saja ribut soal bunga bangkai (Amorphophallus titanum), yang bunganya bisa mencapai 1,7 m dari permukaan tanah, dengan sebaran bau busuk (bangkai) yang nauzubillah! Kita tidak habis pikir, orang pergi melihat bunga, mengelilinginya, lalu ramai-ramai tutup hidung... Wah, ini persoalan juga. Bunga bangkai, ya tentu saja berbeda dengan rafflesia... yang juga berbau busuk.


Di lingkungan alam Bugis, juga dikenal bunga yang sekelompok dengan bunga bangkai, yang disebut bote. Baunya sih tidak kayak bangkai betul, tapi memang cukup tajam buat memancing serangga "pehobi bau busuk", yang tentunya diharapkan jasanya buat nyerbukin si bunga bangkai.

Bunga bangkai versi bote ini, ukurannya juga tidak gede amat, tinggi pohonnya sekitar 75 cm, sedangkan bunganya ya sekitar 30-35 cm dari permukaan tanah. Tampaknya, melihat sosok dan tampilannya, kelihatannya dapat dijadikan tanaman hias dalam pot.
Bentuk daunnya yang menyirip bagus kelihatan, membentuk tajuk yang melebar, walaupun tampaknya batangnya sangat lembek, seperti tumbuhan berair.

Bote ini sudah termasuk langka sekarang ini, jarang lagi ditemukan. Apalagi, ketika berbunga, seluruh batang dan daunnya "menghilang" dan tinggal bunganya yang congak dari permukaan tanah.

Nah, saya tunjukkan foto-foto bote yang saya rekam di Bilalang, Parepare, beberapa waktu lalu. Bunganya menarik dan unik kelihatan... tapi tidak dengan sendirinya, ketika melihat bunganya, kita langsung berjongkok buat endus baunya... he, he, he! Ntar dikirain "manusia pelacak". Namanya juga bote... artinya kalo ada orang suka bote-bote... eh, apa mulunya juga bau busuk?

Bote ini, tentunya merupakan kekayaan kita, yang perlu dilestarikan. Soalnya, berbagai tumbuhan saat ini boleh dikatakan terancam... sebagian sih diburu dan dikuras dari alam. Mudah-mudahan bote (
Amorphophallus sp., Araceae) ini dapat bertahan.


Mungkin ada baiknya, agar populasinya di alam dapat terjaga, harus ada upaya untuk memindahkannya ke pekarangan (dalam pot-pot), tentu, setelah kita tahu secara persis bagaimana menumbuhkan dan memelihara bote ini. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Kamis, 03 September 2009

Putat Salo, Bergelantung di Atas Sungai

SAYA kenal tumbuhan ini ketika jalan-jalan ke kebun saya di Bilalang, Lemoe, pas ke arah mulut Gua Tompangnge itu (yang dikenal sebagai gua kelelawar). Pohon ini, tiba-tiba menarik perhatian saya, karena bunga dan buahnya yang seperti memang sengaja diciptakan oleh Tuhan sebagai ornamen penghias sungai yang lembab, yang di kiri-kanannya seperti sebuah benteng tanaman (paling tidak di sekitar kebun saya, karena ortu saya ini sangat anti penebangan).


Daunnya hijau, bersih dan cenderung mengkilap, dengan tinggi pohon dapat sampai 10 meter, bertajuk rimbun dan rendah. Bunganya berwarna kemerahan, bergaris-tengah 2 cm, bersusun rapih dalam sebuah tandan yang bergelantungan, seperti… seperti apa ya? Mirip lampion para kurcaci di zaman Oliver Khan (cuma nyebut aja nih! Kayaknya sih mirip nama penjaga gawangnya GBR… he he he!)

Ketika saya coba mengambil buahnya, lalu, gigit dan brettt! Wah, rasanya seperti apa ya? Masem, tidak juga… manis, tidak juga… pait, tidak juga… saya kontan meludah-ludah. Ortu saya mengajarkan banyak hal pada saya, antara lain ragam getah yang terdapat pada pohon atau buahnya. Jadi, katanya, kamu harus cukup hati-hati terhadap buah dengan getah yang keputihan seperti susu, atau bening dan sukar mengental… karena kemungkinan getah itu mengandung asam-oksalat, yang dapat membuah mulut melepuh. Wah?!


Tapi dari beberapa buku yang pernah saya baca, kayaknya sih tumbuhan yang oleh penduduk ini disebut putat salo (Barringtonia sp., Lecythidaceae) memang bukan tumbuhan beracun, dan masih satu family dengan jambu bol, coppeng, dll. Paling tidak, walaupun buahnya bukan untuk makanan manusia, namun pasti menjadi hidangan berharga bagi beberapa jenis binatang pemakan buah-buah di hutan, seperti kelelawar, tikus, dan sebagainya. Lagi pula, sebagai sebentuk kekayaan hayati di negeri ini, tak ada salahnya jika kita tetap lestarikan putat salo ini, sebab kita yakin, Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu secara sia-sia… cuma kita belum menemukan apa fungsi, peran, dan kemanfaatan putat salo ini. (anaye ais
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Selasa, 01 September 2009

Edan, Gundul Dulu Baru Berbunga

ANGGREK ini cukup dikenal, dan banyak dipelihara oleh penduduk di kampung-kampung, biasanya ditempelkan di batang-batang pohon atau di gantung dalam pot-sabut-kelapa. Memang, jenis anggrek ini, cukup mudah didapatkan di hutan-hutan di Pinrang, Enrekang, Polewali, Mamasa dan sebagainya.


Ciri yang umum dari anggrek ini, ialah pada waktu-waktu tertentu menggugurkan daunnya, alias jadi "gundul" - pada saat itu, justeru bunganya mulai bermunculan. Ketika daun sedang rimbun, malah bunga sukar muncul. Secara alami, kelihatannya musim kemarau menjadi pemicu munculnya bunga. Anggrek ini, termasuk jenis yang dekat sekali dengan kehidupan tradisional orang-orang Bugis, yang setelah "kering, baru kreatif" - (teori apaan nih!), harus gundul dulu baru muncul bunga... duh edan...! Jadi namanya, barangkali sebaiknya memang:
anggrek edan, he he he!

Anggrek ini mempunyai batang yang berbuku-buku, panjang batang dapat mencapai 150 cm, dengan fisik yang kurus, sehingga terpaksa tampil menggelayut ke bawah... tidak bisa tegak. Secara umum, daun bersusun menyamping kiri-kanan, hijau, dengan ukuran sekitar 20 x 8 cm, dan biasanya tumbuh di sepanjang batang. Cikal bakal bunga muncul pada buku-buku batang, biasanya dekat-dekat di ujung batang, dan bunga yang didukung oleh tangkai bunga antara 8-35 kuntum. Bunganya berwarna keputihan-pink, dengan bagian tengah tampaknya lebih berwarna keunguan. Ukuran bunga lumayan besar, sekitar 6 cm diameternya, dan tahan mekar sampai dengan 20 harian.

Sejauh ini tidak pernah saya dapatkan nama lokal jenis anggrek ini disebut-disebut, orang hanya menyebutnya anggrek, termasuk di lingkungan orang Bugis - tapi apa betul kita yang senang anggrek ini benar-benar tahu membedakan antara "anggrek", dan yang "bukan anggrek"?

Anggrek yang ditampilkan di sini, adalah anggrek hutan yang sudah lama dikenal sebagai tanaman hias oleh penduduk di desa-desa, yang oleh para ilmuwan diberi nama
Dendrobium anosmum, Orchidaceae. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Senin, 31 Agustus 2009

Dari Kasus Sendiri

Resep Ramuan BLOGmania
(untuk kasus mulai kekeringan ide buat nulis)

enam lembar daun
KUMIS KUCING
sekerat daun LIDAH BUAYA, sekitar 3 cm
lima gram hancuran bonggol paku TANDUK RUSA

dua helai tajuk bunga EKOR TUPAI, yang sudah dilayukan

akar KUPING GAJAH secukupnya, bersihkan dulu
(ada baiknya ditambahkan biji bunga JENGGER AYAM, sekitar 2 sendok teh),
jangan lupa tambahkan juga dua keping jamur TELINGA TIKUS,
lalu semua ditumbuk menjadi halus (disarankan pakai blender),
lalu semua bahan dicampur secara merata, angin-anginkan...

masukkan ke dalam air mendidih, lalu tambahkan:
air perasan daun LIDAH MERTUA, 10 cc
taburkan cincangan kering daun JENJANG MERANA

aduk sampai merata,
dinginkan,
minumkan kepada para Blogger & Wordpresser

Ini foto-foto kita nih:
Kakak saya
Hawer Diksi Mitrafaunandais,
kemudian saya

Deidra Anaye Florawidyanandais
,
dan adik saya
Geni Harefa Adisuakabuanandais

(buat Ayah yang juga senang nulis di blog: Selamat deh atas halaman-halaman "Daily Green Notes" di wordpress.com)

(Januari, 2009)

Rata Kanan

















Daun Leppo-leppo, Mulai Naik Daun

MEMANG perlu perhatian yang serius, atas berbagai tumbuhan yang kita miliki, terutama yang sifatnya tumbuhan musiman atau tahunan. Ya, namanya juga tumbuhan musiman, kita ketemunya hanya pada musim tertentu, atau, itu tuh, hanya tumbuh sekali tahapan dalam satu tahun. Jadi, berumur pendek, dan juga selalu berpohon pendek...



Salah satu yang sekarang ingin kita lihat adalah bua leppo-leppo, atau dikenal juga dengan nama ciplukan. Pohonnya pendek, berbatang basah, dan tumbuh di lokasi-lokasi yang lembab serta sedikit ternaungi. Tumbuhan ini, dalam tradisi Bugis, ratusan tahun yang lalu, dikenal sebagai tumbuhan obat, karena konon mengandung senyawa tertentu yang punya khasiat menyembuhkan.



Seperti juga banyak kebiasaan, itu lho, istilah kerennya "trend" - terutama yang diproklamirkan oleh orang-orang moderen, tentang "back to nature" - nah, setiap tumbuhan tiba-tiba cenderung menjadi tanaman obat. Orang-orang jadi rajin minum ramuan, minum daun ini, daun itu, daun sana, daun sini... semua daun, kecuali daun jendela dan daun telinga yang tidak diminum (padahal ada tanaman yang namanya "kuping gajah" lho!)

Timbullah perseteruan antara obat kimia dengan obat alami, lalu alam tiba-tiba diserbu dan apa saja dianggap memiliki nilai sebagai tumbuhan obat (kalo ngga salah: disebut bernilai fitofarmakologis!)



Tentu saja, menurut ortu saya, konsep "back to nature" itu cuma untuk orang barat, yang memang pernah menafikan alam. Tapi kita, orang timur, terutama orang Bugis, emangnya pernah ke mana-mana, emangnya pernah "pergi jauh meninggalkan alam" sehingga terpaksa harus "back" lagi? Betul, orang Bugis tidak pernah meninggalkan alam, melainkan lebur bersama alam sebagai bagian dari semesta hayati. Jadi, ketika orang Bugis meminum ramuan bua leppo-leppo, itu bukan sesuatu yang dibuat-buat, bukan trend, tapi memang begitulah adanya sejak berabad-abad lalu.


Nah, sekarang, hampir setiap hari, daun ini dicari di mana-mana, dan kita jadi heran, ada beberapa tetangga mulai menanamnya secara khusus di pekarangan rumahnya (umumnya ditaruh di pot). Tidak terlalu berhasil memang, tapi itu ide yang patut didukung. Soalnya, menurut ibu RT yang menanam bua leppo-leppo ini, tumbuhan ini banyak yang cari, takut tumbuhan ini menghilang kalo hanya ngambilnya di alam melulu, jadi sebaiknya harus segera dikembangbiakkan... dan sekarang si ibu malah mulai menjual daun-daunnya per lembar. Ini dia, ibu RT yang pintar... he, he, he!

Soal penyakit apa yang dapat disembuhkan dengan memanfaatkan daun leppo-leppo ini, menurut si ibu RT, itu banyak sekali... tak tahu apa, tapi tampaknya, bua leppo-leppo, yang dikenal dengan nama selebritis
Physalus angulata (Solanaceae) ini semakin naik daun. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Rabu, 26 Agustus 2009

Aren, Serbaguna Tapi Terabaikan

SAAT ini kan bulan puasa, dan salah satu penghapus dahaga pada saat buka puasa, misalnya adalah es kolang-kaling... hemm, dingin, renyah dan sip! Apalagi, kalau diminum bersamaan dengan tuak manis, wah... bisa kelupaan segala-gala. Ini akan sempurna, jika minuman ini disertai dengan kue "dange" yang dibuat dari sagu alias tawaro, yang pakai golla cella, pasti akan menggelegar dalam mulut... he, he, he!

Ketika kita bicara hal ini, apa yang teringat oleh kita adalah bahan-bahan untuk minuman itu, kue itu, dan bahan lainnya itu, adalah hal-hal yang berbeda, yang sumbernya berasal dari macam-macam atau berasal dari mana-mana. Nah, kita lupa, kalo kolang-kaling, tuak manis, sagu atau
tawaro, gula merah alias golla cella, sebenarnya hanya berasal dari satu tumbuhan saja, yaitu pohon aren atau enau, yang tumbuh di berbagai tempat. Jadi tumbuhan ini serbaguna, tapi tidak populer alias terabaikan...

Aren, adalah jenis tumbuhan palem, sekeluarga dengan pinang, kelapa, lontar dan lain-lain, yang di Indonesia jumlahnya mencapai ratusan jenis. Aren, dalam bahasa Bugis dikenal sebagai pohon
inru atau kanau, merupakan tumbuhan yang serba-manfaat. Batangnya menghasilkan sagu (tawaro), menghasilan ijuk untuk sapu dan tali, pelepahnya untuk rusuk dinding rumah-rumah di kampung, daunnya untuk atap dan kulit ketupat, untuk janur di pengantin, lidinya buat sapu, buahnya jadi kolang-kaling, bunganya disadap untuk tuak manis (dan terakhir jadi ballo' ), dan dijadikan gula merah (semua gula merah yang dijual di semua pasar di Parepare, pasti so dari pohon aren ini). Jadi, apa yang tertinggal "untuk sebuah nama"... kayak lagu lama Ebiet G. Ade aja...

Pohon ini masih dapat ditemukan tumbuh alami di Parepare, atau di mana saja, tetapi sama sekali belum ada yang menjadikannya tanaman perkebunan. Jadi, semua produksi hanya dikuras dari aren yang tumbuh di hutan-hutan, yang berkembang-biak sendiri, membesar sendiri, berbunga dan berbuah sendiri, lalu bijinya jatuh dan tumbuh sendiri... kecuali ketika mati, ternyata tidak mati sendiri... tapi ditebang oleh manusia!

Nah, begitulah tumbuhan aren (kerennya:
Arenga pinnata, Arecaceae), yang serbaguna tapi juga serba-terlupakan... hanya dikenal ketika kita menikmati apa yang dihasilkannya, dan tak pernah terlintas di pikiran kita tentang bagaimana melestarikan tumbuhan ini... agar manfaatnya dapat juga dinikmati oleh generasi penerus secara terus menerus. (anaye ais)

Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Selasa, 25 Agustus 2009

Apa Manfaat Bilajeng?

POHON ini pasti teman-teman kurang kenal, soalnya memang sangat tidak umum, sejauh ini dapat dikatakan tidak tumbuh di dalam kota. Tapi, ketika kita bersentuhan dengan sungai, sepanjang sungainya normal-normal saja, pasti so tumbuhan ini ada di situ. Di Hutan Jompie, masih dapat ditemukan jenis tumbuhan ini, sedang berbuah... wah, menarik!


Orang bugis biasa menyebutnya bilajeng, buajeng, atau bua bajeng, dan menurut ortu saya (lagi-lagi nih), dulu, setiap kali memasuki saman paceklik, ya buah bilajeng ini terpaksa jadi sasaran penduduk di kampung-kampung untuk dijadikan pengganti beras, atau paling tidak sebagai penyeling (
pappule') ... itu tuh, nyampurin beras dengan bahan lain biar jadi banyak...!

Pohon ini, sejauh ini kurang diketahui manfaatnya, sebab kayunya juga kelihatannya tidak cocok jadi bahan bangunan, bengkok-bengkok, benggol-benggol, bendok-bendok..., daunnya nggak mungkin jadi bahan pakan ternak, buahnya juga nggak mungkin jadi buah meja... rasanya hambar, kayak kalo kita nggigitin gabus... jadi tidak cocok buat nyuguhin tamu sebagai welcome fruits, atau buat nyuci mulut yang seneng ngossip ... he, he, he!

Akan tetapi, ini dia, tampilan pohon ini sangat gagah dan keren, karena tajuknya lebar dan rimbun, batangnya yang keronyong itu kan jadi tampak artistik, dan kalo berbuah wah, lidah bisa berdecak, dan malah orang bisa ngiler kayak ketirisan liur (malah jangan-jangan ada yang berniat nyolong buah ini kalo malam...!). Jadi, perlu dipikirkan, agar bilajeng (
Ficus sp., Moraceae) ini dapat dimanfaatkan secara prima di luar kegunaannya sebagai tumbuhan penyusun hutan. Paling tidak ya, diperkenalkan sebagai tanaman peneduh di taman-taman dalam kota. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Coppeng, Masihkah Bertahan?


RASANYA memang tidak selalu nyaman di lidah, iya deh, sebab kadang kecut, sepat, masem, atau malah manis-manis reppp! Itulah yang kita kenal sebagai buah coppeng, atau alicoppeng, atau ada yang menyebutnya jamblang, duwet, atau kobok. Yang pasti, coppeng ini jelas bukan buah yang populer, apalagi di kalangan kita, yang diberi istilah "anak-anak sekarang". Iya itu, kita kan kenalnya cuma apel, sunkist, anggur, stroberi, etc. Boro-boro nyari coppeng di mall atau supermarket... !



Coppeng merupakan satu jenis tumbuhan buah yang kurang kita kenal sekarang, padahal termasuk tumbuhan asli di negeri ini, deh! Coba bayangkan, dulu menurut ortu saya, di mana-mana tumbuhan ini dapat ditemukan. Tapi sekarang, termasuk tumbuhan yang sudah mulai langka, artinya, mungkin memang masih dapat ditemukan, misalnya di daerah-daerah pinggiran kota, tapi... adakah yang sengaja membibitkannya, lalu menanamnya dan memeliharanya? Pasti semua pohon coppeng, yang kita temukan itu, ada di situ secara alami saja, nggak ada yang pingin sibuk-sibuk nanam di kebun atau pekarangan. Iya, malah sedihnya deh, pohon-pohon coppeng ini, karena dianggap tidak berharga, buah dan kayunya, ya, dibabat saja, diganti dengan jati putih, atau tanaman kakao. Kita memang paling mahir berkebun dengan sistem tanam tumpang-sari... hasilnya juga tumpang tindih, he he he!
 
Kalau mau tanaman tumpang-sari yang bagus, kan mestinya, kakao alias pohon coklat itu ditanam di sela-sela pohon mente ... jadi kalo panen nanti kan buahnya: silverqueen!
 



Sebagai tumbuhan yang merupakan kekayaan asli yang sangat berharga, coppeng (dengan nama keren: Syzygium cumini, Myrtaceae) mestinya kan dapat perhatian dari kita-kita juga. Masa iya kita cuma nyari buah naga, nyari buah persik doang... Ya, kita sebagai generasi penerus, yang tidak boleh keterusan terus menerus, perlu berpikir bagaimana sih menyelamatkan coppeng dan tumbuhan asli lainnya di negeri kita ini. Sebab, kalo ada yang punah, dosa lho! 
Sebelum terjun.. eh, terjun.. bertindak untuk penyelamatan, yang pertama adalah kita harus
akrab dulu mengenal apa itu coppeng... tapi kenal di sini bukan bagaimana rasa buahnya alias kenal mulut... melainkan bagaimana sih seluk-beluk tumbuhan ini. Misalnya, kita harus tahu gimana membenihkan bijinya, bagaimana menanam dan tempatnya yang cocok, lalu bagaimana memeliharanya... Paling bagus, untuk tahap awal, kita sensus dulu, berapa sih pohon coppeng yang sekarang masih tumbuh di sebuah lokasi atau daerah, misalnya di Parepare. Nah, dari sana kita bakal tahu seberapa besar ancaman terhadap kelestarian coppeng ini. (anaye ais).
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Kamis, 28 Mei 2009

Jalan-jalan Ngamatin Puring

BICARA soal tanaman hias, wah bukan main banyak jenis yang menarik. Sebutlah misalnya anggrek, adenium, sansevieria, asoka, caladium dan masih banyak lagi. Nah, di Parepare, kita semua tahu bahwa sangat banyak di antara kita yang tergolong pencinta tanaman. Ada yang menempatkannnya banyak-banyak di pekarangan, tapi... kalau pekarangan lagi sempit, yah pakai pot juga boleh dan tidak kalah menarik. Hanya memang, ya kita perlu tahu, jenis-jenis tanaman apa yang lebih cocok ditanam langsung di tanah, dan jenis apa yang cocok untuk di pot.

Salah satu kelompok tanaman hias, yang coba saya bicarakan di sini, ialah tanaman puring. Orang sih biasanya bilang
Codiaeum variegatum, Euphorbiaceae, itu lho nama ilmiahnya, alias nama latinnya. Kenapa saya milih puring buat kita bincang-bincangkan di sini, ya itu deh, karena puring ini meskipun hanya satu species, tetapi variasinya sangat banyak. Jumlah ragamnya ratusan lho! Selain itu, puring juga merupakan tanaman asli Indonesia, konon puring berasal dari daerah Maluku sana!

Nah untuk tahu berapa banyak jenis puring di Parepare, ya terpaksa sih saya jalan-jalan keliling kota Parepare ini... longok-longok tanaman hias yang ada di pekarangan rumah orang. Ya, dengan gaya celingukan, dan kayak wartawan, saya coba ngumpulin foto-foto variasi puring yang ada di kota ini. Ya tentu saja, buat motret dengan nyaman, ya harus minta ijin sama pemilik tanaman, maksudnya agar nggak salah paham tuh...

Wah, tampaknya memang puring ini cukup banyak ragamnya... saya temukan puluhan macam, dan semuanya menarik-menarik dan indah. Ada puring yang daunnya memanjang, kurus, keriting, bulat, lonjong atau berbentuk trisula. Itu baru bentuk daun, belum variasi warnanya yang sangat kaya... dengan kombinasi menarik, kadang aneh malah...merah, coklat gelap, hijau, kuning, putih, oranye, dan macam-macam lagi. Pantas, akhir-akhir ini, di Majalah Trubus, tanaman puring ini termasuk salah satu primadona tanaman hias... banyak diburu oleh para kolektor, ya si tukang ngumpulin tanaman puring itu, buat sekedar hobi atau buat bikin tebal kocek... he he he!

Nah, buat nyuci mata lewat lembaran ini, saya tampilkan nih hasil-hasil jepretan saya pada puring-puring yang ada di Parepare. Tentu, pasti masih ada ragam yang belum terliput, karena buat jalan-jalan juga ya so butuh waktu, tenaga dan tekad. Tapi, saya yakin deh, dengan ngeliatin hasil-hasil jepretan saya di sini, paling tidak teman-teman punya gambaran mengenai kekayaan hayati puring yang ada di Kota Bandar Madani Parepare. (anaye ais)