Kamis, 03 September 2009

Putat Salo, Bergelantung di Atas Sungai

SAYA kenal tumbuhan ini ketika jalan-jalan ke kebun saya di Bilalang, Lemoe, pas ke arah mulut Gua Tompangnge itu (yang dikenal sebagai gua kelelawar). Pohon ini, tiba-tiba menarik perhatian saya, karena bunga dan buahnya yang seperti memang sengaja diciptakan oleh Tuhan sebagai ornamen penghias sungai yang lembab, yang di kiri-kanannya seperti sebuah benteng tanaman (paling tidak di sekitar kebun saya, karena ortu saya ini sangat anti penebangan).


Daunnya hijau, bersih dan cenderung mengkilap, dengan tinggi pohon dapat sampai 10 meter, bertajuk rimbun dan rendah. Bunganya berwarna kemerahan, bergaris-tengah 2 cm, bersusun rapih dalam sebuah tandan yang bergelantungan, seperti… seperti apa ya? Mirip lampion para kurcaci di zaman Oliver Khan (cuma nyebut aja nih! Kayaknya sih mirip nama penjaga gawangnya GBR… he he he!)

Ketika saya coba mengambil buahnya, lalu, gigit dan brettt! Wah, rasanya seperti apa ya? Masem, tidak juga… manis, tidak juga… pait, tidak juga… saya kontan meludah-ludah. Ortu saya mengajarkan banyak hal pada saya, antara lain ragam getah yang terdapat pada pohon atau buahnya. Jadi, katanya, kamu harus cukup hati-hati terhadap buah dengan getah yang keputihan seperti susu, atau bening dan sukar mengental… karena kemungkinan getah itu mengandung asam-oksalat, yang dapat membuah mulut melepuh. Wah?!


Tapi dari beberapa buku yang pernah saya baca, kayaknya sih tumbuhan yang oleh penduduk ini disebut putat salo (Barringtonia sp., Lecythidaceae) memang bukan tumbuhan beracun, dan masih satu family dengan jambu bol, coppeng, dll. Paling tidak, walaupun buahnya bukan untuk makanan manusia, namun pasti menjadi hidangan berharga bagi beberapa jenis binatang pemakan buah-buah di hutan, seperti kelelawar, tikus, dan sebagainya. Lagi pula, sebagai sebentuk kekayaan hayati di negeri ini, tak ada salahnya jika kita tetap lestarikan putat salo ini, sebab kita yakin, Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu secara sia-sia… cuma kita belum menemukan apa fungsi, peran, dan kemanfaatan putat salo ini. (anaye ais
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Selasa, 01 September 2009

Edan, Gundul Dulu Baru Berbunga

ANGGREK ini cukup dikenal, dan banyak dipelihara oleh penduduk di kampung-kampung, biasanya ditempelkan di batang-batang pohon atau di gantung dalam pot-sabut-kelapa. Memang, jenis anggrek ini, cukup mudah didapatkan di hutan-hutan di Pinrang, Enrekang, Polewali, Mamasa dan sebagainya.


Ciri yang umum dari anggrek ini, ialah pada waktu-waktu tertentu menggugurkan daunnya, alias jadi "gundul" - pada saat itu, justeru bunganya mulai bermunculan. Ketika daun sedang rimbun, malah bunga sukar muncul. Secara alami, kelihatannya musim kemarau menjadi pemicu munculnya bunga. Anggrek ini, termasuk jenis yang dekat sekali dengan kehidupan tradisional orang-orang Bugis, yang setelah "kering, baru kreatif" - (teori apaan nih!), harus gundul dulu baru muncul bunga... duh edan...! Jadi namanya, barangkali sebaiknya memang:
anggrek edan, he he he!

Anggrek ini mempunyai batang yang berbuku-buku, panjang batang dapat mencapai 150 cm, dengan fisik yang kurus, sehingga terpaksa tampil menggelayut ke bawah... tidak bisa tegak. Secara umum, daun bersusun menyamping kiri-kanan, hijau, dengan ukuran sekitar 20 x 8 cm, dan biasanya tumbuh di sepanjang batang. Cikal bakal bunga muncul pada buku-buku batang, biasanya dekat-dekat di ujung batang, dan bunga yang didukung oleh tangkai bunga antara 8-35 kuntum. Bunganya berwarna keputihan-pink, dengan bagian tengah tampaknya lebih berwarna keunguan. Ukuran bunga lumayan besar, sekitar 6 cm diameternya, dan tahan mekar sampai dengan 20 harian.

Sejauh ini tidak pernah saya dapatkan nama lokal jenis anggrek ini disebut-disebut, orang hanya menyebutnya anggrek, termasuk di lingkungan orang Bugis - tapi apa betul kita yang senang anggrek ini benar-benar tahu membedakan antara "anggrek", dan yang "bukan anggrek"?

Anggrek yang ditampilkan di sini, adalah anggrek hutan yang sudah lama dikenal sebagai tanaman hias oleh penduduk di desa-desa, yang oleh para ilmuwan diberi nama
Dendrobium anosmum, Orchidaceae. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes