Senin, 31 Agustus 2009

Dari Kasus Sendiri

Resep Ramuan BLOGmania
(untuk kasus mulai kekeringan ide buat nulis)

enam lembar daun
KUMIS KUCING
sekerat daun LIDAH BUAYA, sekitar 3 cm
lima gram hancuran bonggol paku TANDUK RUSA

dua helai tajuk bunga EKOR TUPAI, yang sudah dilayukan

akar KUPING GAJAH secukupnya, bersihkan dulu
(ada baiknya ditambahkan biji bunga JENGGER AYAM, sekitar 2 sendok teh),
jangan lupa tambahkan juga dua keping jamur TELINGA TIKUS,
lalu semua ditumbuk menjadi halus (disarankan pakai blender),
lalu semua bahan dicampur secara merata, angin-anginkan...

masukkan ke dalam air mendidih, lalu tambahkan:
air perasan daun LIDAH MERTUA, 10 cc
taburkan cincangan kering daun JENJANG MERANA

aduk sampai merata,
dinginkan,
minumkan kepada para Blogger & Wordpresser

Ini foto-foto kita nih:
Kakak saya
Hawer Diksi Mitrafaunandais,
kemudian saya

Deidra Anaye Florawidyanandais
,
dan adik saya
Geni Harefa Adisuakabuanandais

(buat Ayah yang juga senang nulis di blog: Selamat deh atas halaman-halaman "Daily Green Notes" di wordpress.com)

(Januari, 2009)

Rata Kanan

















Daun Leppo-leppo, Mulai Naik Daun

MEMANG perlu perhatian yang serius, atas berbagai tumbuhan yang kita miliki, terutama yang sifatnya tumbuhan musiman atau tahunan. Ya, namanya juga tumbuhan musiman, kita ketemunya hanya pada musim tertentu, atau, itu tuh, hanya tumbuh sekali tahapan dalam satu tahun. Jadi, berumur pendek, dan juga selalu berpohon pendek...



Salah satu yang sekarang ingin kita lihat adalah bua leppo-leppo, atau dikenal juga dengan nama ciplukan. Pohonnya pendek, berbatang basah, dan tumbuh di lokasi-lokasi yang lembab serta sedikit ternaungi. Tumbuhan ini, dalam tradisi Bugis, ratusan tahun yang lalu, dikenal sebagai tumbuhan obat, karena konon mengandung senyawa tertentu yang punya khasiat menyembuhkan.



Seperti juga banyak kebiasaan, itu lho, istilah kerennya "trend" - terutama yang diproklamirkan oleh orang-orang moderen, tentang "back to nature" - nah, setiap tumbuhan tiba-tiba cenderung menjadi tanaman obat. Orang-orang jadi rajin minum ramuan, minum daun ini, daun itu, daun sana, daun sini... semua daun, kecuali daun jendela dan daun telinga yang tidak diminum (padahal ada tanaman yang namanya "kuping gajah" lho!)

Timbullah perseteruan antara obat kimia dengan obat alami, lalu alam tiba-tiba diserbu dan apa saja dianggap memiliki nilai sebagai tumbuhan obat (kalo ngga salah: disebut bernilai fitofarmakologis!)



Tentu saja, menurut ortu saya, konsep "back to nature" itu cuma untuk orang barat, yang memang pernah menafikan alam. Tapi kita, orang timur, terutama orang Bugis, emangnya pernah ke mana-mana, emangnya pernah "pergi jauh meninggalkan alam" sehingga terpaksa harus "back" lagi? Betul, orang Bugis tidak pernah meninggalkan alam, melainkan lebur bersama alam sebagai bagian dari semesta hayati. Jadi, ketika orang Bugis meminum ramuan bua leppo-leppo, itu bukan sesuatu yang dibuat-buat, bukan trend, tapi memang begitulah adanya sejak berabad-abad lalu.


Nah, sekarang, hampir setiap hari, daun ini dicari di mana-mana, dan kita jadi heran, ada beberapa tetangga mulai menanamnya secara khusus di pekarangan rumahnya (umumnya ditaruh di pot). Tidak terlalu berhasil memang, tapi itu ide yang patut didukung. Soalnya, menurut ibu RT yang menanam bua leppo-leppo ini, tumbuhan ini banyak yang cari, takut tumbuhan ini menghilang kalo hanya ngambilnya di alam melulu, jadi sebaiknya harus segera dikembangbiakkan... dan sekarang si ibu malah mulai menjual daun-daunnya per lembar. Ini dia, ibu RT yang pintar... he, he, he!

Soal penyakit apa yang dapat disembuhkan dengan memanfaatkan daun leppo-leppo ini, menurut si ibu RT, itu banyak sekali... tak tahu apa, tapi tampaknya, bua leppo-leppo, yang dikenal dengan nama selebritis
Physalus angulata (Solanaceae) ini semakin naik daun. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Rabu, 26 Agustus 2009

Aren, Serbaguna Tapi Terabaikan

SAAT ini kan bulan puasa, dan salah satu penghapus dahaga pada saat buka puasa, misalnya adalah es kolang-kaling... hemm, dingin, renyah dan sip! Apalagi, kalau diminum bersamaan dengan tuak manis, wah... bisa kelupaan segala-gala. Ini akan sempurna, jika minuman ini disertai dengan kue "dange" yang dibuat dari sagu alias tawaro, yang pakai golla cella, pasti akan menggelegar dalam mulut... he, he, he!

Ketika kita bicara hal ini, apa yang teringat oleh kita adalah bahan-bahan untuk minuman itu, kue itu, dan bahan lainnya itu, adalah hal-hal yang berbeda, yang sumbernya berasal dari macam-macam atau berasal dari mana-mana. Nah, kita lupa, kalo kolang-kaling, tuak manis, sagu atau
tawaro, gula merah alias golla cella, sebenarnya hanya berasal dari satu tumbuhan saja, yaitu pohon aren atau enau, yang tumbuh di berbagai tempat. Jadi tumbuhan ini serbaguna, tapi tidak populer alias terabaikan...

Aren, adalah jenis tumbuhan palem, sekeluarga dengan pinang, kelapa, lontar dan lain-lain, yang di Indonesia jumlahnya mencapai ratusan jenis. Aren, dalam bahasa Bugis dikenal sebagai pohon
inru atau kanau, merupakan tumbuhan yang serba-manfaat. Batangnya menghasilkan sagu (tawaro), menghasilan ijuk untuk sapu dan tali, pelepahnya untuk rusuk dinding rumah-rumah di kampung, daunnya untuk atap dan kulit ketupat, untuk janur di pengantin, lidinya buat sapu, buahnya jadi kolang-kaling, bunganya disadap untuk tuak manis (dan terakhir jadi ballo' ), dan dijadikan gula merah (semua gula merah yang dijual di semua pasar di Parepare, pasti so dari pohon aren ini). Jadi, apa yang tertinggal "untuk sebuah nama"... kayak lagu lama Ebiet G. Ade aja...

Pohon ini masih dapat ditemukan tumbuh alami di Parepare, atau di mana saja, tetapi sama sekali belum ada yang menjadikannya tanaman perkebunan. Jadi, semua produksi hanya dikuras dari aren yang tumbuh di hutan-hutan, yang berkembang-biak sendiri, membesar sendiri, berbunga dan berbuah sendiri, lalu bijinya jatuh dan tumbuh sendiri... kecuali ketika mati, ternyata tidak mati sendiri... tapi ditebang oleh manusia!

Nah, begitulah tumbuhan aren (kerennya:
Arenga pinnata, Arecaceae), yang serbaguna tapi juga serba-terlupakan... hanya dikenal ketika kita menikmati apa yang dihasilkannya, dan tak pernah terlintas di pikiran kita tentang bagaimana melestarikan tumbuhan ini... agar manfaatnya dapat juga dinikmati oleh generasi penerus secara terus menerus. (anaye ais)

Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Selasa, 25 Agustus 2009

Apa Manfaat Bilajeng?

POHON ini pasti teman-teman kurang kenal, soalnya memang sangat tidak umum, sejauh ini dapat dikatakan tidak tumbuh di dalam kota. Tapi, ketika kita bersentuhan dengan sungai, sepanjang sungainya normal-normal saja, pasti so tumbuhan ini ada di situ. Di Hutan Jompie, masih dapat ditemukan jenis tumbuhan ini, sedang berbuah... wah, menarik!


Orang bugis biasa menyebutnya bilajeng, buajeng, atau bua bajeng, dan menurut ortu saya (lagi-lagi nih), dulu, setiap kali memasuki saman paceklik, ya buah bilajeng ini terpaksa jadi sasaran penduduk di kampung-kampung untuk dijadikan pengganti beras, atau paling tidak sebagai penyeling (
pappule') ... itu tuh, nyampurin beras dengan bahan lain biar jadi banyak...!

Pohon ini, sejauh ini kurang diketahui manfaatnya, sebab kayunya juga kelihatannya tidak cocok jadi bahan bangunan, bengkok-bengkok, benggol-benggol, bendok-bendok..., daunnya nggak mungkin jadi bahan pakan ternak, buahnya juga nggak mungkin jadi buah meja... rasanya hambar, kayak kalo kita nggigitin gabus... jadi tidak cocok buat nyuguhin tamu sebagai welcome fruits, atau buat nyuci mulut yang seneng ngossip ... he, he, he!

Akan tetapi, ini dia, tampilan pohon ini sangat gagah dan keren, karena tajuknya lebar dan rimbun, batangnya yang keronyong itu kan jadi tampak artistik, dan kalo berbuah wah, lidah bisa berdecak, dan malah orang bisa ngiler kayak ketirisan liur (malah jangan-jangan ada yang berniat nyolong buah ini kalo malam...!). Jadi, perlu dipikirkan, agar bilajeng (
Ficus sp., Moraceae) ini dapat dimanfaatkan secara prima di luar kegunaannya sebagai tumbuhan penyusun hutan. Paling tidak ya, diperkenalkan sebagai tanaman peneduh di taman-taman dalam kota. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes

Coppeng, Masihkah Bertahan?


RASANYA memang tidak selalu nyaman di lidah, iya deh, sebab kadang kecut, sepat, masem, atau malah manis-manis reppp! Itulah yang kita kenal sebagai buah coppeng, atau alicoppeng, atau ada yang menyebutnya jamblang, duwet, atau kobok. Yang pasti, coppeng ini jelas bukan buah yang populer, apalagi di kalangan kita, yang diberi istilah "anak-anak sekarang". Iya itu, kita kan kenalnya cuma apel, sunkist, anggur, stroberi, etc. Boro-boro nyari coppeng di mall atau supermarket... !



Coppeng merupakan satu jenis tumbuhan buah yang kurang kita kenal sekarang, padahal termasuk tumbuhan asli di negeri ini, deh! Coba bayangkan, dulu menurut ortu saya, di mana-mana tumbuhan ini dapat ditemukan. Tapi sekarang, termasuk tumbuhan yang sudah mulai langka, artinya, mungkin memang masih dapat ditemukan, misalnya di daerah-daerah pinggiran kota, tapi... adakah yang sengaja membibitkannya, lalu menanamnya dan memeliharanya? Pasti semua pohon coppeng, yang kita temukan itu, ada di situ secara alami saja, nggak ada yang pingin sibuk-sibuk nanam di kebun atau pekarangan. Iya, malah sedihnya deh, pohon-pohon coppeng ini, karena dianggap tidak berharga, buah dan kayunya, ya, dibabat saja, diganti dengan jati putih, atau tanaman kakao. Kita memang paling mahir berkebun dengan sistem tanam tumpang-sari... hasilnya juga tumpang tindih, he he he!
 
Kalau mau tanaman tumpang-sari yang bagus, kan mestinya, kakao alias pohon coklat itu ditanam di sela-sela pohon mente ... jadi kalo panen nanti kan buahnya: silverqueen!
 



Sebagai tumbuhan yang merupakan kekayaan asli yang sangat berharga, coppeng (dengan nama keren: Syzygium cumini, Myrtaceae) mestinya kan dapat perhatian dari kita-kita juga. Masa iya kita cuma nyari buah naga, nyari buah persik doang... Ya, kita sebagai generasi penerus, yang tidak boleh keterusan terus menerus, perlu berpikir bagaimana sih menyelamatkan coppeng dan tumbuhan asli lainnya di negeri kita ini. Sebab, kalo ada yang punah, dosa lho! 
Sebelum terjun.. eh, terjun.. bertindak untuk penyelamatan, yang pertama adalah kita harus
akrab dulu mengenal apa itu coppeng... tapi kenal di sini bukan bagaimana rasa buahnya alias kenal mulut... melainkan bagaimana sih seluk-beluk tumbuhan ini. Misalnya, kita harus tahu gimana membenihkan bijinya, bagaimana menanam dan tempatnya yang cocok, lalu bagaimana memeliharanya... Paling bagus, untuk tahap awal, kita sensus dulu, berapa sih pohon coppeng yang sekarang masih tumbuh di sebuah lokasi atau daerah, misalnya di Parepare. Nah, dari sana kita bakal tahu seberapa besar ancaman terhadap kelestarian coppeng ini. (anaye ais).
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes