Senin, 26 Oktober 2009

Zaman Cenna Telah Berlalu


DULU, ternyata ketika orang-orang tua kita mau bersekolah, ya pake sendal jepit, nggak pake seragam, dan sekolahnya  juga dari bangunan seadanya, dengan dinding anyaman bambu. Ortu saya bilang, belajarnya pake batu tulis, dan itu buku... harganya mahal. Menarik, buku-buku mereka diminta oleh para guru untuk dibungkus dengan kertas minyak. Nah, jadilah ketika itu, karena belum ada lem Agung atau Alteco, mereka memanfaatkan cenna ini sebagai perekat. Mereka ke hutan, memanjat dan memetik buah cenna yang sedang ranum, lalu dipencet-pencet, dan keluarlah getahnya...

Sekarang zaman penggunaan cenna sebagai lem alam, telah berlalu. Kita sekarang kan pake semua barang

sintetik, termasuk semua makanan yang serba instan. Nggak mau cape-cape nyari di alam, padahal tidak satupun materi yang tidak disediakan oleh alam... cuma kita malas doang buat nyarinya dan ogah dibilang kampungan...

Nah, ketika saya ke kebun (di Parepare), saya masih menemukan satu pohon cenna (Payena leeri, Sapotaceae), yang tumbuh rebah di atas kali kecil. Saya berkali-kali bilang terima kasih pada ortu saya, karena beliau tidak pernah mengizinkan orang untuk memotong batang pohon cenna itu... jadi dibiarkan begitu saja. Pasti, saya tidak akan mengenal cenna secepat ini seandainya pohon itu telah ditebang... dan itu berarti saya kehilangan satu informasi penting lagi soal flora di negeri ini.

Ketika saya coba untuk mencicipi, wah rasanya renyah amat, seperti rasanya kalo kita menelan adonan kanji, tapi bening... wah, kalo kita tidak waspada... entar mulut nggak kebuka lagi karena terekat. Saya pikir, ini cocok untuk mendukung program "mogok bicara"... makan saja buah cenna ini, pasti deh mulut jadi rapat-rapat, he, he, he!
Tapi, ya zaman cenna dan getah kayu jawa (Lannea grandis), memang telah berlalu... padahal sekarang dimasuki zaman "mogok-mogokan".

Jadi kalau begitu, sekarang, persoalan kita adalah cenna ini merupakan kekayaan hayati kita, dan kita harus terus melestarikannya sampai kita menemukan potensi yang sebenarnya. Jadi, cenna harus tetap ada di bumi nusantara ini. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes"

Selasa, 13 Oktober 2009

Bote, Bunga Bangkai Versi Bugis

ORANG bisa saja ribut soal bunga bangkai (Amorphophallus titanum), yang bunganya bisa mencapai 1,7 m dari permukaan tanah, dengan sebaran bau busuk (bangkai) yang nauzubillah! Kita tidak habis pikir, orang pergi melihat bunga, mengelilinginya, lalu ramai-ramai tutup hidung... Wah, ini persoalan juga. Bunga bangkai, ya tentu saja berbeda dengan rafflesia... yang juga berbau busuk.


Di lingkungan alam Bugis, juga dikenal bunga yang sekelompok dengan bunga bangkai, yang disebut bote. Baunya sih tidak kayak bangkai betul, tapi memang cukup tajam buat memancing serangga "pehobi bau busuk", yang tentunya diharapkan jasanya buat nyerbukin si bunga bangkai.

Bunga bangkai versi bote ini, ukurannya juga tidak gede amat, tinggi pohonnya sekitar 75 cm, sedangkan bunganya ya sekitar 30-35 cm dari permukaan tanah. Tampaknya, melihat sosok dan tampilannya, kelihatannya dapat dijadikan tanaman hias dalam pot.
Bentuk daunnya yang menyirip bagus kelihatan, membentuk tajuk yang melebar, walaupun tampaknya batangnya sangat lembek, seperti tumbuhan berair.

Bote ini sudah termasuk langka sekarang ini, jarang lagi ditemukan. Apalagi, ketika berbunga, seluruh batang dan daunnya "menghilang" dan tinggal bunganya yang congak dari permukaan tanah.

Nah, saya tunjukkan foto-foto bote yang saya rekam di Bilalang, Parepare, beberapa waktu lalu. Bunganya menarik dan unik kelihatan... tapi tidak dengan sendirinya, ketika melihat bunganya, kita langsung berjongkok buat endus baunya... he, he, he! Ntar dikirain "manusia pelacak". Namanya juga bote... artinya kalo ada orang suka bote-bote... eh, apa mulunya juga bau busuk?

Bote ini, tentunya merupakan kekayaan kita, yang perlu dilestarikan. Soalnya, berbagai tumbuhan saat ini boleh dikatakan terancam... sebagian sih diburu dan dikuras dari alam. Mudah-mudahan bote (
Amorphophallus sp., Araceae) ini dapat bertahan.


Mungkin ada baiknya, agar populasinya di alam dapat terjaga, harus ada upaya untuk memindahkannya ke pekarangan (dalam pot-pot), tentu, setelah kita tahu secara persis bagaimana menumbuhkan dan memelihara bote ini. (anaye ais)
Notes: for Buginese Fauna please see Daily Green Notes